Friday, May 30, 2014

Semua Bermula di Inggris


13 Agustus 2014, 10.53 am

You're the one I love , you're the one I need!
You're the only one I see!
Come on, baby, it's you!

Astaga, sejak kapan handphoneku berbunyi sekencang ini? Dengan kikuk kuraih handphoneku dan memeriksa siapa pengirim sms yang telah membuat seisi divisi menoleh ke arahku. Semoga saja bukan sms dari sang operator dengan segala penawaran menyesatkannya.

Baru saja kubaca kilasan sms itu, aku sudah tahu kalau tebakanku salah. Begitu kubaca isinya, apa yang ada didalamnya membuatku nyaris berteriak kegirangan dan menari dalam larut euforia: permohonan visa turis ke Inggris yang kuajukan beberapa waktu lalu akhirnya diapproved. Impianku terkabul, akhirnya.

Dari dulu aku sudah memimpikan jika aku dapat peluang untuk pergi ke luar negeri, negara pertama yang kukunjungi haruslah Inggris. Mengapa? Sederhana saja: it just clicks with me. Entahlah, namun negara itu dengan segala halnya telah mencuri hatiku sejak entah kapan. Aku selalu membayangkan menghabiskan waktu disana, berjalan-jalan di tengah hiruk-pikuknya London sambil menikmati suasana musim gugur yang beranjak muncul menggantikan musim panas, mengamati gaya fashion mereka yang hampir selalu menjadi kiblat fashion dunia, mengunjungi beberapa kota dan situs bersejarah, dan banyak hal lain yang selama ini hanya bisa kunikmati lewat tabung kaca dan gulungan kertas berjilid.

Dan sekarang, peluang itu telah menampakkan dirinya dalam bentuk sebuah sms yang singkat. Sebuah peluang yang takkan kusia-siakan. Dengan penuh semangat kuurus izin cutiku dan kubook tiket untuk perjalanan pulang-pergi ke Inggris akhir bulan ini sore itu juga.


29 Agustus 2014, 09.00 am

Well, here I am right now sitting right next to the fountain on trafalgar square in London with my pocket camera and a note book on my hand seeing people doing their own activities around me. This place is so amazing. Its beautiful, clean, and I could see pigeons roaming freely. Aku sempat mengelilingi taman ini sebelum akhirnya memilih untuk duduk, mengamati bagaimana warga disana saling berinteraksi satu sama lain dan mengabadikannya kedalam kumpulan foto dan catatanku.

Ditengah keasyikanku, tiba-tiba aku merasakan ada tepukan halus di bahu kiriku. I froze for a few seconds. I don't know anyone in this place. Did I do something wrong? God, hopefully not...

Belum selesai aku larut dalam khayal panikku, apa yang kulihat saat kulihat siapa yang menepukku membuatku terpaku. Tepat dihadapanku berdiri seorang pria berwajah khas eropa yang klasik, seperti gambaran bangsawan di film series yang sering aku lihat di cable TV, berambut hitam, bermata biru, menatapku dengan pandangan I-can't-believe-I-found-you-here-but-hey-I'm-happy. Dan aku hanya bisa terdiam. Bingung.

"Hey, can't believe I meet you here. Do you remember me?" dia langsung menjabat tanganku sambil senyum setengah tertawa. Sebuah ekspresi yang akan bisa membuat siapa pun jatuh cinta seketika.
"Actually, no. Have we met before?" Ya, dengan sedikit terpaksa harus meladeni seorang bule super charming dengan bahasa Inggrisku yang kurasa bahkan kalah mahir dibandingkan anak kecil.
"Oh, I see you don't remember me." Sedikit raut kecewa tergambar di wajah tampannya. Tapi tidak, aku tidak ingat sama sekali pernah bertemu dengan pria setampan dirinya.
"We've met before. In Thailand. 2 April 2013, at Sleeping Budha Temple near The Grand Palace." sambungnya. Aku semakin bingung. Ya, aku pernah kesana, tapi tidak ingat pernah bertemu dengan bule seganteng ini.
"Ya, I went to that temple. But sorry I still not remember you." Sepertinya jujur akan lebih baik bagiku untuk menghadapi hal semacam ini.
"It's ok. My fault. Maybe I've scared you but I have an Eidetic memory. I won't forget everyone I've met. I won't forget everything. I knew its sound creepy but when I saw you sitting here,  I couldn't help to greet you and have a little chat with you." Jelasnya panjang lebar.
Aku pernah membaca artikel ringkas mengenai eidetic memory. Kemampuan langka yang membuat orang mampu mengingat apapun yang ia lihat, baca, dan dengar dengan tingkat akurasi yang mencengangkan.
"Have we talk before?" Aku memang tidak punya kemampuan eidetic memory, tapi biasanya aku tidak pernah lupa dengan orang yang pernah berbincang-bincang denganku.
Dia menggelengkan kepalanya. "No. I talked to your mom, and the old lady, your mom's friend, the one who can speak French"
"Tante Ria." gumamku pelan.
"Yeah, Mrs Ria. She use a yellow shirt and white hat." Dia bahkan bisa ingat warna topi yang dipakai tante Ria, sahabat mamaku yang saat itu tur bersama keluargaku.
"You are the English teacher, from France, and has been living in Indonesia for years?" Akhirnya satu persatu kepingan puzzle ingatanku mulai membentuk gambaran jelas mengenai sosok rupawan dihadapanku ini.
"Yes, Oh thank God, finally you remember me. You never mention your name, so I don't know your name. My name's Pierre, Pierre Dubois" dia mengulurkan menjabat tanganku erat sambil tertawa lebar. Entah kenapa wajahnya terlihat senang sekali. Nama pria ini benar-benar mencerminkan asal negaranya, dan cukup sulit untuk dilafalkan.
"I don't remember your face. I just remember that my mom and her friend talk with an English teacher. My name's Naya. Nice to meet you again." Sepertinya pria tampan bernama Pierre ini dapat kupercaya. Toh saat ini aku hanya sendiri di sini. Akan lebih baik jika ada teman untuk mengobrol.
Dia tersenyum. Senyuman yang mampu membuatku menahan napas karena terpesona. “I’m really happy to meet you here. How long you’ve been here?
“..... This is my second day.” Kataku setelah berusaha sekuat tenaga melepaskan diri dari pesona matanya yang begitu fokus namun lembut menatapku. “You stayed in Indonesia for years, can you speak Bahasa?
“Hmm.. Ya, aku bisa, tapi tidak terlalu bagus. Karena aku kerja di international school, jadi jarang bicara bahasa indonesia.” Cara Pierre bicara dalam bahasa indonesia mampu membuatku tersenyum. Terpatah-patah dan kaku, lengkap dengan dialek french-englishnya. “Hei, jangan ketawa. Aku ini berusaha.” Katanya sambil pura-pura memasang mimik kesal, yang membuatku semakin ingin tertawa melihatnya. “Berapa lama kamu tinggal di London?”
“Rencananya aku tinggal di Inggris 10 hari, ga hanya di London sih, aku berencana berkeliling. Aku mau lihat-lihat menjelajah disini. Banyak sekali tempat yang ingin aku kunjungi disini.” Kataku sambil membuka halaman-halaman dalam note book yang ada di tanganku. Disana tertulis tempat-tempat yang sangat ingin aku kunjungi. Seperti Gereja Westmister Abbey, Abbey Road, Baker Street, London Eye, dan masih banyak lagi. “Kamu tinggal di London? Atau sedang berkunjung ke sini?”
No. Rumahku di Paris. Aku biasa kalau sedang pulang ke France, suka juga berkunjung ke Inggris, ada rumah cousin ehm maksudku sepupu disini. Ibu asalnya dari Inggris. Jadi banyak family disini.” Informasi yang Pierre berikan menjelaskan dialeknya yang unik, cara dia menyebutkan kata seperti orang Perancis namun dialeknya sedikit terdengar British ditelingaku. “Kamu sendirian atau ikut tour?”
“Aku sendiri. Berencana menjelajah sendiri saja. Menurut beberapa artikel yang kubaca, cukup mudah mejelajah tempat wisata di Inggris.” Aku sudah membeli peta Inggris lengkap dengan artikel-artikel tempat yang ingin aku kunjungi.
“Bagaimana jika aku menawarkan diri menjadi tour guide kamu. I know this country very well. At least I knew popular spot here. I promise you that we won’t get lost. And my fee is free” Ia tersenyum manis, senyum yang mampu membuatku tak bisa berkata ‘tidak’. Tawaran Pierre terdengar menarik. Aku benar-benar buta akan lokasi-lokasi wisata yang ingin aku kunjungi. Aku memang bisa menggunakan bus dan kereta yang sangat nyaman disini, namun alangkah asiknya jika ada teman seperjalanan, teman berbincang, teman untuk berbagi tawa. Namun disatu sisi, aku baru saja bertemu dengan pria ini. Pria ini asing. Meski ini bukan pertama kali aku berjumpa dengannya. Namun pesona pria ini begitu memikat. Jika aku berkata ‘tidak’ padanya, aku mungkin tak akan bertemu dengannya lagi. Tak bisa menikmati indahnya paras yang Tuhan ciptakan untuknya, tak bisa mendengar lembut dan dalam suaranya, keindahan yang terpancar dari sorot matanya, senyumnya yang mampu membuat sekelompok kepompong di perutku bertransformasi seketika menjadi kupu-kupu dan beterbangan dengan riangnya, memberikan sensasi gelitik menyenangkan dan mendebarkan.
"Bagaimana? Kamu mau?" Suara Pierre mengembalikan kesadaranku.
"Ehm, kamu janji tidak akan membuatku tersesat? Kamu bisa bawa aku ke tempat-tempat yang aku mau?"Aku butuh diyakinkan. Aku harus yakin kalau aku akan aman bersamanya.
"Swear to God. I'm gonna take you where ever you want. Maybe I'll take you somewhere you don't know but I promise you that place is wonderful. Hey, This in England. Every places are wonderful." Dia tersenyum sambil berusaha meyakinkanku. Tangannya menyentuh halus tanganku. Tak ada kesan tidak sopan pada sentuhannya. Hanya sebuah sentuhan yang mampu membuatku memutuskan aku akan menerima ajakannya.
Ok, let’s try for a couple days. If you didn’t make me happy, or you make us lost to place that not good enough. We stop.” Aku berusaha agar tak terlihat over excited. Aku tak ingin Pierre tahu bahwa aku senang sekali dan tak sabar ingin segera menjelajah negeri impianku ini bersamanya.
Great. Aku jemput kamu jam 9 di hotel. Kamu bermalam dimana?” Dia tersenyum lebar. Ada kepuasan terpancar dari sorot matanya.
“Hotel 43.” Jawabku singkat.
I know that place. I have to go now. Aku ada janji mau makan siang dengan ehmm tante aku. Besok pagi jam 9 aku jemput kamu. Boleh minta email or nomor telpon kamu?” Aku menuliskan email dan nomor telponku di selembar sobekan kertas dari buku noteku dan aku berikan padanya. “This is my card.” Pierre memberikan kartu nama padaku. “I’ll call you tonight.” Dia menyentuh lembut pipiku sebelum mengucapkan salam perpisahan dan beranjak pergi meninggalkanku yang terdiam oleh sikapnya.
Kucubit lenganku. Sakit. Aku tidak bermimpi, ini nyata. Tak kusangka di tempat impianku inilah aku bertemu dengan seorang Pierre yang pesonanya meluluhkan hatiku.
“Sepertinya mulai besok tak kubutuhkan lagi jadwalku,” gumamku dengan penuh senyum sambil beranjak dan melangkah kembali menuju hotel, menyambut esok yang penuh kejutan.

No comments:

Post a Comment